Pendaftaran Tanah (Hak) Ulayat Atau Konversi Hak

sertifikat-tanah_20161022_193327(Kajian atas Mekanisme Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Perda Sumatera Barat Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya[1]

1. Kontoversi Pendaftaran Tanah (Hak) Ulayat

Soal pendaftaran tanah ulayat yang menghasilkan sertipikat tanah ulayat telah menjadi kontroversi sejak lama di Sumatera Barat. Pihak yang menolak mencurigai bahwa pendaftaran tanah ulayat menyebabkan hilangnya sifat komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena beralih menjadi tanah dengan hak-hak individu. Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalkan pada tanah ganggam bauntuak dipandang sebagai proses individualisasi tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal. Padangan ini didukung dengan argumentasi Van Vallenhoven[2] yang menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.[3] Sebagai hak yang mandiri, tanah ulayat yang pengelolaannya didasarkan pada hukum adat sudah cukup menjadi pegangan dalam mengatur pemanfaatan tanah ulayat bagi anggota masyarakat adat dan bagi pihak lain.

Pengelolaan tanah ulayat sebagai hak yang mandiri di Minangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam ungkapan “adat salingka nagari”. Ungkapan ini mempertegas konsepsi otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan ulayat yang berdasarkan hukum adat merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari. Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya, telah diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak diperlukan lagi sertipikat sebagai bukti kemandirian hak atas tanah ulayat.

Sedangkan  disisi lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum. Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum keperdataan yang lebih kuat. Bahkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997 menyatakan bahwa sertipikat “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Sertipikat selain menunjukkan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data fisik tentang tanah. Sebagai alat ekonomi, sertipikat juga dapat dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman.

Bahkan hasil penelitian Tim Perumusan Ranperda Tanah Ulayat pada tahun 2001 menemukan bahwa dari 400 orang yang diwawancarai, 295 orang atau 73,75 persen sepakat agar tanah ulayat dapat disertipikatkan. 80 orang atau 20,00 persen yang tidak sepakat dan 25 orang atau 6,25 persen yang tidak menjawab. Fenomena ini harus dibaca sebagai keterbukaan masyarakat Minangkabau atas nilai-nilai yang berkembang diluar masyarakat Minangkabau, seperti sertipikat, dengan tetap memegang tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.

Dalam praktik, selain sertipikasi, ada bentuk lain pengakuan hukum atas hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten misalnya, pengakuan dilakukan dengan Penetapan Hukum melalui Perda No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Di Kabupaten Merangin, Jambi,  dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.

2. Wacana Kritis Pendaftaran Tanah Ulayat

Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]

Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah “Land Resource and Management Planning” yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020). Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun. LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia.

Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum negara pun “tidak keberatan” untuk mengakomodasi keinginan warga. Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai pemilik bersama.[6]

Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara – yang pada dasarnya bersifat generalis dan tidak mengenal pembedaan – terhadap sistem hukum adat yang lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme hukum negara. Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk sertifikat.

Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara. Setelah masuk dalam mekanisme hukum negara, maka kemudian persoalan tanah ulayat akan didominasi oleh pemerintah dan ahli hukum yang tidak selalu memiliki perspektif penguatan hak-hak masyarakat atas tanah ulayat.

3. Persoalan Teknis Hukum

Bab V, Pasal 8 Perda TUP mengatur tentang pendaftaran dan subjek hukum tanah ulayat. Tanah ulayat didaftarkan kepada Kantor Pertanahan (BPN) kabupaten/kota yang tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan. Tanah ulayat nagari didaftarkan menjadi hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum didaftarkan menjadi hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo didaftarkan menjadi Hak Pakai dan Hak Kelola.

Karena tanah ulayat bukan merupakan objek pendaftaran tanah (menurut PP No. 24/1997), maka tanah ulayat didaftarkan sebagai hak-hak atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang menjadi objek pendaftaran tanah.[8] Hal tersebut diperkuat kembali oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pasal 4 ayat (1) Permen No. 5/1999 menyebutkan bahwa tanah ulayat, apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.

Hal tersebut menjadi dasar ketentuan Perda TUP yang mengatur pendaftaran tanah ulayat untuk didaftarkan dengan status hak atas tanah menurut UUPA. Perda TUP memperkenalkan 5 jenis pendaftaran tanah ulayat ke dalam status tanah menurut UUPA, yaitu:

  • Tanah Ulayat Nagari

Tanah ulayat nagari dapat didaftarkan dengan status Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang pemegang haknya adalah atas nama ninik mamak KAN. Sehingga di dalam sertifikat tanah ulayat tersebut akan mencantumkan nama ninik mamak KAN serta dapat melampirkan nama-nama pihak lain yang terkait dengan pemilikan atas tanah ulayat nagari.

Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU dari sisi subjek pengemban hak belum memiliki landasan hukum yang kuat. PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai, menyatakan bahwa pemegang HGU adalah warga negara Indonesia dan Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Tidak secara spesifik dinyatakan bahwa masyarakat adat, yang berbentuk nagari, dapat menjadi pemegang HGU.

Pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status HGU menimbulkan beberapa konsekuensi karena HGU memilik aturan sendiri yang berbeda dengan nilai-nilai kolektif dan mandiri dari masyarakat nagari. Beberapa konsekuensi itu antara lain:

  1. Tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara. Karena HGU hanya diberikan dari tanah negara, maka hal ini berbeda dengan landasan hak atas tanah ulayat nagari yang dianut oleh masyarakat nagari di Sumatera Barat. Tanah ulayat nagari dianggap sebagai milik kolektif masyarakat nagari yang penguasaannya berada ditangan KAN dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerntah Nagari dalam Peratuan Nagari.
  2. HGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Batas waktu ini mengurangi penguasaan masyarakat nagari, termasuk KAN, terhadap tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat nagari hanya akan bertahan paling lama 60 tahun. Setelah itu akan hilang dan menjadi tanah negara sebab ada kewajiban kepada pemegang HGU untuk menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
  3. Pemegang HGU harus membayar sejumlah uang pemasukan kepada negara. HGU pada dasarnya diberikan bagi kepentingan usaha, bila pemerintahan nagari tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanah ulayat nagari sebagai faktor produksi maka akan mendapatkan beban pembayaran tersebut.
  4. Pemegang HGU berkewajiban menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha. Aturan ini memberikan beban dan kontrol baru dari pihak lain kepada masyarakat nagari.
  5. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Menjadikan HGU sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak kalah dipersidangan maka HGU tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
  6. Selain dengan putusan pengadilan, HGU juga dapat dialihakan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi HGU untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari.

Selain didaftarkan dengan status HGU, tanah ulayat nagari juga dapat didaftarkan dengan status Hak Pengelolaan dan Hak Pakai. Hak pengelolaan dalam hukum tanah nasional tidak disebut dalam UUPA, tetapi tersirat dalam pernyataan Penjelasan Umum angka II.2. Dalam kenyataannya pengaturan tentang Hak Pengelolaan hanya diatur oleh setingkat Peraturan Menteri bukan dengan Undang-undang. Kewenangan yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan itu adalah terbatas untuk merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Hak Pengelolaan berkedudukan sebagai suatu bentuk pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan dari hak menguasai negara atas tanah yang diberikan kepada Departemen, Lembaga-lembaga Pemerintahan Negara, Daerah Otonom, serta Badan Hukum-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak Pengelolaan tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dijaminkan. Sehingga tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pengelolaan lebih mirip dengan pemberian hak kepada kesatuan masyarakat hukum adat atau daerah swatantra yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA karena bersifat tetap dan diberikan untuk keperluan tertentu.

Sedangkan pendaftaran tanah ulayat nagari dengan status Hak Pakai juga memiliki problem subjek pemegang hak yang serupa dengan HGU. Di dalam PP No. 40/1996 disebutkan bahwa subjek Hak Pakai adalah: a) Warga Negara Indonesia; b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d) Badan-badan keagamaan dan sosial; e) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional. Masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan nagari juga tidak secara tegas disebutkan sebagai pemegang hak pakai.

Hak Pakai dapat diberikan pada tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah atas hak milik. Bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai tanah negara, maka hak pakai diberikan oleh Menteri atau petugas yang ditunjuk dan kemudian didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sifat dari hak pakai dari tanah negara adalah hak yang diberikan (given), bukan sebagai hak asal yang berasal dari masyarakat. Hak Pakai pada tanah hak pengelolaan juga diputuskan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk setelah adanya usulan dari pemegang hak pengelolaan.

Sedangkan Hak Pakai pada tanah milik lebih dekat dengan konsepsi yang dimaksud terhadap tanah ulayat nagari sebab tanah ulayat nagari dianggap sebagai hak asal usul yang berasal dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Hak Pakai yang bersumber dari tanah milik terjadi melalui pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Tanah ulayat nagari yang didaftarkan sebagai Hak Pakai menimbulkan beberapa konsekuensi yang akan diterima oleh masyarakat nagari, antara lain:

  1. Bila Hak Pakai atas tanah ulayat dianggap sebagai hak pemberian (given) dari Pemerintah, maka Hak Pakai tersebut memiliki jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Tetapi juga ada ketentuan yang menyatakan bahwa Hak Pakai tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Untuk keperluan tertentu yang dimaksud adalah untuk kepentingan: a) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; b) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; c) Badan keagamaan dan badan sosial. Apakah bagi tanah ulayat nagari dianggap sebagai untuk keperluan tertentu juga? Belum ada penjelasan relevan menjawabnya.
  2. Hak Pakai yang bersumber dari Hak Milik memilik jangka waktu paling lama 25 tahun dan setelah itu tidak dapat diperpanjang. Hal ini kemudian menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari. Namun bila ada kesepakatan antara pemegang hak milik, maka Hak Pakai tersebut dapat diperbarui dengan menggunakan hak pakai baru Hak Pakau baru itu dilakukan dengan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan kembali kepada Kantor Pertanahan.
  3. Pemegang hak pakai membayar sejumlah uang kepada pemberi Hak Pakai baik kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau kepada pemegang hak milik atas tanah. Hal ini menjadi aneh bila tanah ulayat nagari dianggap sebagai hak asal usul dari keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Tidak relevan apabila suatu kelompok membayar sejumlah uang kepada pihak lain agar dia dapat menikmati hak atas tanah yang pada mulanya adalah hak mereka.
  4. Hak Pakai dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Menjadikan Hak Pakai sebagai jaminan utang memiliki koneskuensi bahwa hak tersebut dapat disengketakan di dalam persidangan. Apabila pemengan hak kalah dipersidangan maka Hak Pakai tersebut dapat beralih kepada pihak lain.
  5. Sama dengan HGU, Hak Pakai juga dapat dialihakan dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah,dan pewarisan. Hal ini mempermudah pengalihan tanah ulayat yang didaftarkan menjadi Hak Pakai untuk dipindahtangankan yang pada akhirnya akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat nagari.
  • Tanah Ulayat Suku

Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah penghulu-penghulu suku.

  • Tanah Ulayat Kaum

Tanah ulayat suku didaftarkan dengan status hak milik yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan mamak kepala waris.

  • Tanah Ulayat Rajo

Tanah ulayat rajo didaftarkan dengan status hak pakai dan hak kelola yang pemegang haknya adalah anggota kaum dan pihak ketiga dengan diketahui oleh laki-laki tertua pewaris rajo.

  • Tanah ulayat yang sudah diberikan izin oleh penguasa dan pemilik tanah ulayat kepada perorangan yang dikerjakan terus menerus dan sudah terbuka sebagai sumber kehidupan dapat didaftarkan sebagai hak milik setelah memenuhi “adat diisi limbago dituang.”

Penutup

Pendaftaran tanah hak ulayat (ulayat nagari) menjadi hak atas tanah (HGU, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan) dalam Perda TUP potensial menghilangkan status hak ulayat (hak ulayat nagari). Alih-alih melaksanakan perlindungan, pengaturan pendaftaran tanah ulayat dalam Perda TUP menjadi alat ”Konversi” hak ulayat menjadi tanah hak milik dan atau tanah negara. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hak ulayat.

Pendaftaran hak ulayat nagari dengan status pendaftaran tanah dalam Perda TUP khususnya dan dalam hukum agraria pada umumnya memperlemah keberadaan hak ulayat. Peluang ”pendaftaran” atau dalam praktik disebut penetapan hukum hak ulayat yang ada hari ini adalah penetapan oleh pemerintah daerah tentang keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, yang merupakan model alternatif di luar model pendaftaran tanah dalam PP No. 24/1999 tentang pendaftaran tanah, seperti halnya dalam contoh kasus masyarakat adat Badui.  Namun, persoalan muncul dengan proses dan mekanismenya yaitu banyaknya Perda yang harus dilahirkan untuk penetapan-penetapan hak ulayat (ulayat nagari) dari semua nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat. Selaras dengan itu, perubahan PP No.24/1999 tentang pendaftaran tanah menjadi hal penting. Perubahan tersebut semestinya memasukkan hak ulayat sebagai ”hak khusus” dengan ”dokumen khusus” yang berbeda dengan sertipikat hak milik.**

 

REFERENSI

Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008.

Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.

Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000

John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner,  HuMa, Jakarta

Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung.

 

[1] Makalah ini ditulis ulang dengan kesesuaian materi pendaftaran tanah ulayat dari buku Nurul Firmansyah, Yance Arizona, (2008), Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan, Jakarta, HuMa dan Qbar

[2] Van Vallenhoven adalah seorang anak seorang hakim yang lahir pada tanggal 8 Mei 1874. Dia adalah Doktor di bidang ilmu politik dan jurisprudence. Semasa hidupnya banyak dicurahkan sebagai Ketua Komisi Hukum Adat (Commissie voor Adatrechts) di Leiden dan beralih pada tahun 1917 dengan mengurus Yayasan Hukum Adat (Adatrechtsticihing). Van Vallenhoven membawa diskursus tentang hukum adat dalam kancah akademis. Lihat Otje Salman Soemadiningrat, (2002). Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung. Hal. 110.

[3] Herman Soesangobeng, Pendaftaran Tanah Ulayat Di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Makalah dalam Lokakarya di Padang, 23-24 Oktober 2000.

[4] Bonnie Setiawan, Ekonomi Pasar Yang Neo-Liberalistik Versus Ekonomi Berkeadilan Sosial, Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta. Hal 4-5

[5] Ade Saptomo, (2004). Di Balik Sertifikasi Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Pluralisme Hukum, Jurnal Jurisprudence, Vol 1. No. 2. September 2004. Hal 207-218. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/344/1/6._ADE_SAPTOMO.pdf pada tanggal 1 September 2008

[6] Ade Saptomo juga menyampaikan bahwa sertifikasi dapat diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonisme. Artinya, ada tesis bahwa (1) di balik sertifikasi hak atas tanah terdapat individualisme dan hedonisme yang dibawa oleh globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan pengaman terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras di masa kini dan masa berikutnya.

[7] John Griffiths, (2005). Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, dalam Buku Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner,  HuMa, Jakarta. Hal 79

[8] Pasal 9 PP tersebut menyatakan bahwa yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah: a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b) Tanah hak pengelolaan; c) Tanah wakaf; d) Hak milik atas satuan rumah susun; e) Hak tanggungan; f) Tanah Negara. Tidak dimasukkannya tanah ulayat sebagai objek pendaftaran tanah membuat pemerintah tidak menerbitkan status sebidang tanah dengan Sertipikat Tanah Ulayat.

*untuk melihat utuh Perda Provinsi Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, dapat diunduh pada : http://www.bphn.go.id/data/documents/perda_pempov_sumbar_no._6_tahun_2008.pdf

Diterbitkan oleh Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Hukum

Satu pendapat untuk “Pendaftaran Tanah (Hak) Ulayat Atau Konversi Hak

Tinggalkan komentar